Sudah Layakkah Pemerintah Perlakukan Pengungsi Banjir Bandang

Chanel Banten – Saat ini hampir 4 (empat) tahun sudah warga penyintas bencana banjir bandang di Kabupaten Lebak pada awal tahun 2020 silam mengisi barak pengungsian atau huntara.

Mereka yang hingga kini bertahan di tempat pengungsian, karena tidak memiliki tempat tinggal lain untuk dihuni. Banjir bandang menerjang sekitar 30 desa tersebar di 5 kecamatan yaitu Sajira, Maja, Cipanas, Curug Bitung, Cimarga, dan Lebakgedong.

Baca juga: Keistimewaan Ikhlas dalam Akulturasi Psikologis

Berdasarkan data yang dirilis pihak BNPB saat itu sekitar 18.860 jiwa harus mengungsi. Dari total 5 kecamatan, terdapat 30 desa turut terdampak.

Banjir menyebabkan sekitar 3.105 unit rumah rusak. Sekitar 1.410 rusak berat, 421 rusak ringan, dan 1.110 rumah terdampak endapan lumpur serta merusak fasilitas publik.

Spekulasi penyebab banjir

Pihak pemerintah memperkirakan bahwa penyebab banjir dan longsor yang tidak bisa dihindari itu akibat berapa faktor. Pertama diduga adanya cuaca hujan ekstrim yang mengguyur Kabupaten Lebak. Kedua diduga akibat adanya aktivitas penambangan liar yang dilakukan masyarakat dari bekas galian tambang. Dugaan itu pertama kali disebut dalam laporan BNPB.

Penyebab banjir juga disebut oleh pemerintah dalam analisisnya akibat kemarau panjang. Dampak kemarau panjang menyebabkan permukaan Gunung Halimun retak. Sehingga, saat hujan ekstrim terjadi, air masuk ke rongga permukaan yang retak.

Kondisi huntara tak layak

Kini para penyintas banjir dan longsor menghuni tempat pengungsian atau disebut huntara di wilayah Desa Banjarsari, Lebakgedong. Terdapat dua lokasi huntara, yaitu huntara 1 (satu) dan 2 (dua).

Mereka mengisi hunian berupa bangunan yang terbuat dari material bambu dan triplek dengan atap terpal dan rumbia. Saat ini sebagian besar kondisi bangunan sudah nampak memperihatinkan.

Warga penyintas hingga kini masih setia menunggu adanya kepastian janji pemerintah soal nasib mereka kedepan. Karena mereka sebenarnya ingin segera direlokasi atau minimal bangunan huntara yang sedang ditempati direnovasi. 

Apalagi warga juga kerap kesulitan soal makanan. Sebab, sebagian besar warga penyintas tidak memiliki pekerjaan tetap untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari.

Tak betah tinggal di huntara

Sejumlah warga penyintas mengaku tak betah tinggal di Huntara tersebut, namun mereka tidak memiliki pilihan karena tidak memiliki tempat tinggal selain di huntara. 

Bencana memang tidak bisa dihindari dan diprediksi. Namun, bencana setidaknya dapat diantisipasi dengan mitigasi yang tepat sehingga tidak sampai menimbulkan korban jiwa maupun materil. 

Baca juga:  ‘Candu’ Membayangi Perilaku Hidup Kita

Bencana banjir dan longsor harus dijadikan cermin bagi semua pihak agar memperlakukan alam dengan baik. Diketahui bencana banjir dan longsor parah dalam sejarah di daerah itu baru kali ini. Bencana itu terjadi, pada Rabu 1 Januari 2020.

Editor: Galuh Malpiana 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *