MEMINJAM istilah kekinian, akhir zaman, bagian dari masa perjalanan akhir kehidupan manusia. Maksudnya, perjalanan panjang sejak pertama keturunan Adam di bumi beranak-pinak kini menjelang masa akhirnya. Artinya kehidupan manusia, bumi dan alam semesta akan menemukan masa akhir yang disebut dengan akhir zaman.
Berbagai fenomena menjadi kenyataan yang sebelumnya tidak terjadi atau terjadi secara sembunyi-sembunyi, seperti kerusakan moral, kemanusiaan sampai berbagai tatanan kehidupan seperti hormat-menghormati dan penghargaan pada jiwa manusia perlahan hilang dan tergantikan.
Namun lupakan sejenak gambaran hidup yang lekat dekat kemengerian. Mari membincang diantara yang ringan dan cenderung santai-santai. Seperti fenomena melajang diantara manusia atau merupakan tanda akhir zaman disebutkan berupa orang yang paling ringan bebannya.
Seorang yang tidak beristri dan tidak memiliki tanggungan anak. Status lajang dengan beban yang relatif lebih ringan daripada orang yang memiliki istri dan anak yang harus dibiyai hidup dan bimbingan ke arah kebaikan.
Mengapa di pedesaan? Desa atau dusun secara khusus disebutkan dalam kitab suci yang mengarah kepada suatu kondisi kehidupan tertentu. Tidak seperti kota, seringkali dikaitkan kepada suatu wilayah tertentu, seperti disebut dengan “Madiinah” yang seringkali diartikan suatu kota di Negeri Arab tempat makan Nabi Muhammad. Penyebutan desa yaitu “A’rab” atau “Baduyy” yang berarti orang dusun meski berkonotasi memiliki tabiat negatif, eksistensi desa dan orang dusun dapat diidentifikasi sebagai bagian penting untuk menandai suatu kehidupan manusia secara luas.
Selanjutnya, fenomena “homeless” di pedesaan sebenarnya bukan suatu yang baru dalam sejarah kehidupan manusia. Legenda Tarzan, seorang yang menjadikan hutan sebagai kampungnya seringkali menjelma simbol kehidupan ala masyarakat desa yang harmoni dengan alam. Belum lagi, terdapat banyak komunitas masyarakat lokal yang yang masih bisa ditemukan di berbagai belahan bumi Nusantara seperti Kalimantan, Papua, juga Sumatera; melekat dengan identitas kesukuan yang terbelakang dibanding orang kota baik secara keyakinan, pendidikan sampai peradaban.
Secara administrasi, kehidupan mereka tidak sepenuhnya tersistem sedemikian rupa orang kota. Setidaknya, tidak semua orang yang terkategori “homeless” khususnya yang mendiami desa-desa memiliki identitas atau surat-menyurat sebagai identitas diri.
Tidak terikat aturan
Otomatis, kehidupan mereka tidak banyak diikat oleh aturan-aturan secara an sich diberlakukan kepada warga masyarakat pada umumnya. Belum lagi, adat-istiadat atau kebiasaan khas peradaban suatu masyarakat tidak seketat sebagaimana masyarakat berbudaya secara prinsip diharuskan untuk menyesuaikan diri dengan aturan dan hukum negara.
Fenomena “homeless” di zaman ini dapat ditemukan di desa-desa berbagai daerah seperti Sumatera. Terdapat orang yang memilih hidup di perkebunan atau hutan atau ladang persawahan daripada bermukim di sebuah perkampungan. Saung yang terpisah dari perkampungan masyarakat menjadi rumah bagi orang tersebut.
Tidak sebagai milik pribadi, namun saung atau pemondokan milik masyarakat saat bertandang ke ladang mereka menjadi tempat istirahat khususnya di malam hari atau saat sepi.
Sekilas, “homeless” di pedesaan akan meninggali saung milik masyarakat yaitu saat cuaca hujan di gelap malam atau terik panas di siang hari. Pakaian dan makanan pun seadanya.
Selain itu, saung tempat istirahat sejenak tersebut tidak jarang berpindah tidak secara tidak tentu. Bisa pada satu malam di satu saung dan berpindah pada malam selanjutnya. Terkadang juga, si “homeless” menginap di rumah warga yang ia tidak untuk menyungkankan diri atau sedang mau menginap di rumah warga tersebut.
Intinya, secara sederhana latar belakang pemihan tempat istirahat adalah tergantung pada keinginan pribadi. Dibeberapa desa tidak sedikit masyarakat yang bersikap terbuka. Sehingga terkadang juga si “homeless” bercengkrama dan bergabung dengan beberapa kegiatan untuk bermasyarakat dengan bekerja atau sekedar ‘nimbrung.
Tidak ada moda transportasi yang dimanfaatkan dalam menjangkau jarak atau menempuh tujuan tempat tertentu meski tidak sedikit sudah terdapat kendaraan di sana, berjalan kaki adalah menjadi pilihan. Tidak melulu hidup dalam kesendirian di hutan-hutan, dia juga memiliki pakaian dan dapat bersikap sebagaimana manusia normal pada umumnya.
Selama keberadaannya tidak bersifat mengganggu masyarakat atau merusak fasilitas maka dapat saja diterima tanpa ada reaksi yang membahayakan eksistensi si “homeles” tersebut.
Demikian ulasan singkat tentang cara hidup yang terdapat di dalamnya makna kebebasan bagi “homeless” yang menjadi bagian dari kehidupan manusia di zaman disebut bagian akhir ini khususnya di pedesaan. Hanya dituntut oleh kebutuhan pribadi, makan dan pakaian pun seadanya bahkan rumah pun tidak punya. Kondisi serba keterbatasan sebagai konsekuensi tersendiri serta pada saat yang sama memiliki makna kebebasan dari beban tanggungan sebagaimana manusia kebanyakan.
Oleh: Nazwar, S. Fil. I., M. Phil
Penulis Lepas Lintas Jogja Sumatera