Puji syukur kepada Allah SWT, di bulan Ramadan yang penuh keberkahan tahun ini, akhirnya saya bisa kembali menulis menuntaskan tulisan bersambung saya sebelumnya yaitu Cara Kerja Uang Membentuk Perilaku Kita.
Tulisan ini merupakan referensi dari buku The Psyshology of Money pelajaran abadi mengenai kekayaan, ketamakan dan kebahagiaan karya Morgan Housel, yang terbit tahun 2020.
Baca juga: Keistimewaan Ikhlas dalam Akulturasi Psikologis
Bagi saya buku ini memiliki energi dalam membantu meningkatkan imunitas pikiran kita dalam aktualisasi kehidupan sehari-hari.
Hal yang menarik dalam buku The Psyshology of Money, yaitu kutipan keberuntungan dan risiko adalah saudara kandung. Keduannya adalah realitas bahwa semua hasil dalam hidup dipengaruhi kekuatan-kekuatan selain usaha.
Kutipan lain adalah percakapan antara Kurt Bonnegut seorang miliarder dengan kawannya Josep Heller dalam novel populernya Cath-22. DimanaJosep Heller yang merupakan seorang manajer dana lindung mendapat lebih banyak uang dari semua yang didapat Heller.
Jawaban Heller menjawab ungkapan Kurt Bonnegut diluar dugaan. Heller menjawab dengan kalimat sederhana, yaitu “Ya, tapi saya punya sesuatu yang dia tidak akan punya, yaitu rasa cukup” ucap Heller.
Dalam konteks ini, saya ingin mencoba memahami kalimat sederhana Heller, yaitu rasa cukup. Kata cukup disini saya rasa memiliki multitafsir. Kenapa saya sebut demikian, mengelola atau menambah pundi uang melalui bisnis dan pekerjaan perlu strategi dan skema yang matang.
Namun kenapa Heller dengan sederhananya hanya mengucap kalimat yang satu kata pamungkas yaitu cukup. Dengan artian, bahwa sekeras apapun kamu membangun bisnis dengan aset melimpah, maka akan beranggapan kekayaan telah dicapai kurang atau bahkan bahkan gagal.
Baca juga: Cara ‘Ajaib’ Uang Bekerja Membentuk Perilaku Kita (Bagian 1)
Terjebak dalam statistik
Rasa prestasi demikian, karena kita hanya terjebak dalam angka-angka semata. Kita memang perlu realistis, statistik angka-angka memang diperlukan.
Kita bekerja keras membangun kekayaan dengan kemampuan strategi yang dimiliki. Tujuannya agar kita sejahtera bukan, tidak menghadapi kesulitan atau bahkan ekstrimnya jatuh dalam lubang kemiskinan.
Namun mengutip kalimat dalam buku The Psyshology of Money, yang lebih penting, nilai kekayaan itu relatif terhadap apa yang Anda butuhkan. Jadi kekayaan itu sendiri adalah relatifitas ia hanya sebuah paradoks.
Saya sangat tersentuh dengan kalimat kutipan saran singkat dalam buku The Psyshology of Money ini. Kalimat pertama yaitu usahakan bersikap rendah hati ketika keadaan baik dan memaafkan atau welas asih ketika keadaan buruk. Kedua kelola yang Anda dalam cara yang membuat Anda bisa tidur pada malam hari dan gunakan uang untuk mendapatkan kendali atas waktu Anda.
Kerja keras kita membangun kekayaan akan sia-sia, jika sebaliknya uang dan kekayaan itu malah mengendalikan atau bahkan membentuk perilaku kita kepada hal yang negatif.
Teman saya sempat berseloroh dengan kalimat, kenapa saya merasa dikendalikan oleh uang. Uang dan kekayaan adalah realitas kehidupan sosial manusia. Namun jangan sampai uang dan kekayaan mengendalikan perilaku kita.
Baca juga: Cara ‘Ajaib’ Uang Bekerja Membentuk Perilaku Kita (Bagian 1)
Mengutip kalimat judul artikel Dhimas Ginanjar yang dimuat di Jawa Pos.com (2021) “Merdeka dari Kemiskinan Adalah Sebuah Keniscayaan!. Pada prinsipnya manusia memang tak ingin hidup dalam kemiskinan. Akan tetapi kemiskinan menurut saya bukan kehinaan, karena kaya juga bukan ukuran.
Uang dan kekayaan bagi saya hanyalah sebuah paradoks. Ia akan menjadikan dua mata pisau atau akan meningkatkan kualitas hidup kita. Kita perlu bijak dan mawas diri, uang dan kaya memang perlu untuk keberlanjutan hidup kita. Tapi hal yang terpenting uang dan kekayaan kita harus berdampak manfaat, baik bagi diri sendiri, keluarga maupun lingkungan sekitar kita.
Semoga dalam segala keterbatasan ruang pikiran saya, tulisan ini sedikitnya bisa memberikan manfaat.
Oleh: Galuh Malpiana
Penulis adalah jurnalis warga Lebak