IlustrasiSERANG – Sikap semena-mena dan keserakahan tuan tanah kolonial Belanda menyulut kemarahan masyarakat dan kaum petani di Cikande Udik, Banten.
Puncaknya, petani memberontak melawan sang tuan tanah. Dalam catatan sejarah, peristiwa itu terjadi pada abad ke-19.
Pemberontakan meletus setelah kebijakan Belanda menjual tanah negara pada swasta (Partikelir). Tanah dijual tanpa aturan yang jelas alias “ugal-ugalan”.
Kebijakan Belanda menjual tanah negara berdampak pada kaum pribumi yang sudah menempati tanah itu sebelumnya. Petani tertekan, keringat kian diperas terlebih pajak yang dibebankan pada penggarap makin mencekik leher.
Petani diperbudak di tanah garapannya sendiri, dipaksa membuat senang para tamu yang menumpang di tanahnya sendiri. Pada tahun 1845 atau 100 tahun sebelum Indonesia merdeka pada tahun 1945, peristiwa pemberontakan petani pun terjadi. Petani menyerang tuan tanah.
Menurut Iim Imadudin dalam Jurnal Sejarah Patanjala, Vol. 7, No. (1) Maret 2015: 33-48 berjudul,”Perlawanan Petani di Tanah Partikelir Tanjoeng Oost Batavia Tahun 1916”, latar belakang pemberontakan Cikande Udik karena pemerasan tuan tanah kolonial pada petani Banten abad ke-19.
Tuan tanah sewenang-wenang menerapkan aturan baru dengan mengklaim seluruh pribumi yang merasa memiliki sawah di tanah partikelir, harus membayar pajak berbentuk hasil bumi.
Dengan kata lain para petani di Banten wajib menyetorkan hasil panen setengahnya dari jumlah keseluruhan. Jumlah ini dibeda-bedakan sesuai dengan ladang yang dimiliki. Antara lain, apabila si petani merasa memiliki ladang kelas 1, maka wajib setor 3 pikul setiap panen.
Sedangkan yang merasa punya ladang kelas 2, harus menyetor pajak hasil bumi sebanyak 2 pikul, dan apabila si petani mengaku punya ladang kelas 3, maka bayaran setiap panen hanya ditangguhkan hasil bumi (beras) sebanyak 1 pikul.Hal ini sangat memberatkan para petani di Banten.
Mengingat keadaan waktu itu sedang paceklik, sebab panen gagal, dan harga-harga kebutuhan pokok di pasaran sedang memuncak. Akibatnya keluarga petani sering menderita kelaparan.Menurut Nina Herlina Lubis dalam buku berjudul ”Sejarah Provinsi Jawa Barat: Jilid 1”, (2013), meletusnya pemberontakan Cikande terjadi pada tahun 1845.
Tepatnya 100 tahun sebelum terjadinya proklamasi kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945.Adapun penyebab utama pemberontakan ini berkecamuk lantaran diilhami oleh kerusuhan Nyi Gamparan.
Pemberontakan memperebutkan tanah partikelir yang pernah terjadi pada tahun 1836. Pengaruh tokoh Nyi GamparanTokoh Nyi Gamparan begitu kentara dalam gerakan Cikande Udik. Bahkan ada salah satu tokoh berpengaruh yang memiliki peran penting dalam peristiwa ini, yaitu ibunya Nyi Gamparan sendiri dalam peristiwa Cikande Udik 1845.
Ibu Nyi Gamparan terlibat dalam pemberontakan Cikande Udik. Pemerintah kolonial menghukum gantung ibu Nyi Gamparan karena dianggap telah menjadi penyebab meletusnya pemberontakan petani ini di Banten.
Konon sosok ibu Nyi Gamparan terkenal sakti, oleh sebab itu banyak pengikutnya. Seluruh petani menurut pada apa yang terucap dari mulutnya.Bahkan pemberontakan Cikande Udik pun disinyalir perintah ibu Nyi Gamparan untuk membalaskan dendam atas gugurnya sang anak pada pemberontakan tahun 1836.
Menurut Nina, peristiwa meletusnya pemberontakan Cikande Udik menjadi aspirasi petani lain di Tatar Sunda untuk memberontak tuan tanah partikelir. Seperti gerakan petani dalam peristiwa Ciomas (1886), pemberontakan petani Banten (1888), dan gerakan petani di Ciampea (1892).
Djoko Marihandono dan Harto Juwono dalam bukunya berjudul ”Banten: Sebagai Sumber Potensi Heroik” (2014), menyebut pemberontakan Cikande Udik berakhir setelah serdadu kolonial menangkapi para pelakunya pada 14 Desember 1845.
Karena berupaya memberikan perlawanan balik, para tentara kolonial akhirnya mundur sementara. Namun setelah mereka lengah, opsir-opsir Belanda ini menyerang para pelaku pemberontakan Cikande Udik dan membunuhnya dengan sadis di tempat.
Akibatnya banyak korban yang bergelimpangan. Sumber kolonial tak menyebutkan secara pasti jumlah para petani yang tewas. Namun catatan kolonial mengatakan para petani yang tewas merupakan golongan pribumi yang sombong karena merasa diri sudah sakti dan kebal.
Namun kekebalan ini tidak nyata. Mereka tertipu guru-guru mereka yang menyebut dirinya sudah kebal. Sebab nyatanya para petani kebal itu mati diterjang peluru dan bom meriam yang mengarah tepat di dadanya.
Pemberontakan Cikande Udik benar-benar berakhir pada tanggal 15 Agustus 1846. Tepat setelah semua pelaku utamanya tertangkap dan diadili di pengadilan negeri Belanda di Banten.Jumlah keseluruhan yang terlibat aktif ada 25 orang. Semuanya dihukum gantung, termasuk ibu dari mendiang Nyi Gamparan. Sedangkan 134 lainnya diasingkan dan dipekerjakan paksa. Adapun sisanya sebanyak 41 orang bebas karena tidak terbukti bersalah.
Diolah berbagai sumber
Tidak ada komentar