Foto Galuh Malpiana/Koleksi pribadi Galuh Malpiana
Jurnalis dan Komikus berdomisili di Kabupaten Lebak
Tulisan ini sepenuhnya jadi tanggung jawab penulis tidak mewakili pandangan redaks
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, saya bisa kembali melanjutkan tulisan saya sebelumnya yang sempat tertunda. Pada tulisan kali ini, saya akan membahas soal penerapan stoikisme dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagaimana tema judul yang saya pilih yaitu jiwa Stoik di arena petarung. Maka tentu ini ada kaitannya dengan psikologi pula. Karena hampir sebagian besar arah hidup kita ditentukan oleh kecerdasan emosi.
Tulisan ini juga bagian dari resensi saya terhadap buku Filosofi Teras karya Henry Manampiring. Membaca buku Filosofi Teras seakan membawa main jauh ke alam pikiran serta ke kedalaman emosi saya. Buku tersebut bagi saya sangat mencerahkan.
Menurut saya stoikisme adalah keseimbangan. Dalam penerapannya, stoik juga berkaitan tentang sebuah keikhlasan ditengah kehidupan yang sedang kita jalani yang begitu keras.
Namun kerasnya hidup tidak serta Merta mengeraskan pula cara berpikir serta emosi kita. Emosi harus terkelola dengan baik sebagaimana seperti yang ada dalam Stoik. Jiwa harus tetap lembut jangan ikut terpengaruh oleh permainan hidup.
Stoik mengajarkan saya akan kejernihan cara berpikir, tidak grasak-grusuk. Melalui Stoik pula kita diajarkan bagaimana membaca pola alam semesta bekerja. Karena memang sesuatu di dunia yang kita tempati ini adalah barisan gugus pola. Hawa nafsu adalah alam liarnya.
Pikiran kita itu abstrak, ia rumit seperti cosmik. Oleh Tuhan kita diminta untuk merapikan dan nemetakannya agar hidup tidak berantakan dan kehilangan arah tujuan yang jelas.
Karenannya, prinsip keseimbangan hidup ala stoikisme adalah refleksi diri, dengan cara mengkoreksi diri, introspeksi dan mawasdiri. Stoikisme lebih banyak mengajarkan mengenai pengendalian diri atau penekanan dalam mengelola emosi.
Stoikisme juga mengajarkan agar bersikap logis, mampu membedakan antara hal-hal yang berada dalam kendali kita dan hal-hal yang berada di luar kendali kita. Point yang lainnya adalah penekanan sikap empati terhadap orang lain dan melihat kemanusiaan dengan lebih purna.
Stoikisme berasal dari bahasa Yunani “stoikos” atau stoa. Istilah ini merujuk pada Stoa Poikile, sebuah “sekolah filsafat” di Athena, Yunani, tempat Zeno, filsuf terkemuka dari Citium memberikan pengaruh besar bagi peradaban sekitar tahun 301 SM.
Pada masa itu, Zeno melakukan pengajaran dengan cara yang agak tak biasa, yaitu dengan duduk berbicara di teras pendopo yang terletak agak jauh dari keramaian pasar. Pendekatan pengajaran dan cara dia mendirikan akademinya ini yang kemudian memberikan nama pada aliran filsafat ini, yaitu stoikisme.
Penggunaan istilah “stoik” lebih merujuk pada bundaran tiang penopang yang mendukung teras tempat Zeno mengadakan diskusi dan pengajaran.
Secara umum, sejarah stoikisme dapat dibagi menjadi tiga periode. Pertama, ada Stoa awal yang mencakup tokoh-tokoh seperti Zeno (334–262 SM), Chrisipus (280–206 SM), dan Cleanthes (331–232 SM). Kedua, ada Stoa perantara yang dikembangkan oleh Panaetius dari Rhodes (185–110 SM) dan Posidonius dari Apamae (135–51 SM). Pamungkasnya, terdapat Stoa akhir atau yang juga dikenal sebagai Stoikisme Romawi yang dipengaruhi oleh pemikiran Lucius Annaeus Seneca (1–65 M), Epictetus (55–135 M), dan Marcus Aurelius (121–180 M).
Tidak ada komentar