Jurnal: Sahabat dan Filosofi Sepiring Nasi Goreng (Bagian 1)

PERSAHABATAN bagai kepompong, berubah ulat menjadi kupu-kupu” bait daru lirik lagu Kepompong yang dipopulerkan Sind3ntosca yang hits diera tahun 2000an menurut saya sebuah lirik yang efik dalam menggambar tentang sebuah persahabatan.

Lirik lagu Kepompong mengingatkan akan nilai-nilai persahabatan antara saya dengan sahabat. Puji syukur kepada Allah SWT, sampai usia 42 tahun, persahabatan dan silaturahmi kami masih tetap terjaga dengan baik.

Baca juga: Jurnal: Kejadian Aneh di Makam Keramat Gunung Anten, Petilasan Para Pejuang Kemerdekaan

Awal perkenalan, saya menilai sahabat saya itu si sombong dan si sok Borjuis. Kenapa saya beranggapan demikian, karena dia berperangai tengil dan sok pamer. Di tempat tongkrongan kampung, saya hanya bertegur sapa biasa saja dengan dia. Sahabat saya sebelumnya tinggal di Kota Bekasi alias anak baru di kampung saya itu. 

Kami pun sering bertemu ditempat tongkrongan kampung. Namun, semakin lama bertemu dan ngobrol-ngobrol ringan, entah kenapa saya rasa setiap topik perbincangan dengan dia, saya merasa satu prekwensi. Topik obrolan yang dia pantik selalu berisi tidak sekadar obrolan kosong alias rumpi diusia remaja saat itu.

Saya merasa bersalah saat itu, karena menilai orang hanya dari luarnya saja. Lama sering nongkrong bareng dan bertemu, kami kian akrab dan asik ngbrol ngaler ngidul. Bahkan, lama kelamaan kami saling menawarkan untuk ngobrol ke rumah kita masing-masing.

“Lebih asik nongkrong dirumah gua kali yah, ngobrol-ngobrol kita,” ajak dia dengan logat khas anak Bekasi.

“Boleh, tapi ada gitar nggak?. Kalau nggak ada gua bawa,” timpal saya. 

Oh iya, jarak usia saya dengan dengan sahabat saya itu terpaut sekitar 3 (tiga) tahun. Kami semakin akrab dan intens sering bertemu nongkrong jalan dan sebagainya. 

Ketika saya menginap dirumahnya maupun dia yang menginap dirumah saya. Ritual utama kami mengisi isi perut yang kosong yaitu membuat nasi goreng. Setiap bikin nasi goreng, kokinya ya pasti saya. Dia mah tinggal makan doang. 

Dari nasi goreng itu lah kami mengingat bahwa ada nilai filosofis tentang kesederhanaan. Nilai filosofis kesederhanaan nasi goreng ala-ala kami itu, karena dari bumbu yang sederhana bisa menciptakan rasa dan kebersamaan.

Baca juga: Jurnal: Mendiang Dinar dan Bab Cerita Komik Shincan yang Hilang 

Begadang sudah pasti, ngobrol sambil gitaran. Sahabat saya ini kurang play dalam bermusik. Jangankan bisa memainkan alat musik, nyanyi saja suaranya suka fals. Kalau nyanyi bareng paling cuma bantu tepuk-tepuk tangan doang. 

Setelah nyanyi-nyanyi, mulai topik obrolan di mulai, dari soal, sosial, agama, sejarah, politik dan sebagainya. Kami juga sering berbeda pandangan dalam sebuah topik, kami sering berdebat keras, namun nggak baper walaupun beda pandangan atau pendapat dalam setiap topik. Karena usia kita saat itu masih remaja kita juga sering curhat soal kisah percintaan.

Dari beberapa teman tongkrongan sebegitu banyaknya. Saya merasa, dia adalah sahabat terbaik saya dan teman diskusi yang efik. Dia juga memiliki rasa sosial yang tinggi alias solider kalau kata anak gaul.

(Bersambung)

Penulis: Galuh Malpiana
[Tulisan ini saya dedikasikan bagi para sahabat yang selalu menjaga nilai persahabatan]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *