Polemik Pengesahan Revisi UU Desa

Disahkannya revisi undang-undang nomor 6 tahun 2024 kepala desa dapat menjabat selama 8 tahun dan diberi jatah 2 periode mencalonkan diri, total dapat menjabat selama 16 tahun.

Apakah maslahat untuk rakyat atau justru hanya memberikan kesempatan ruang berkuasa yang semakin lama bagi kepala desa dalam memperkaya dirinya.

Faktanya, bukan barang baru lagi di Indonesia seorang kepala desa hanya menjabat untuk kepentingan diri bersama kelompoknya. Negara seharusnya perlu membayangkan bagaimana rakyat kecil, kelompok marjinal di pedesaan/perkampungan hidup di atas bayang-bayang kekuasaan kepala desa selama 8 tahun tanpa ada jaminan pemerhatian kesejahteraan.

Baca juga: Pasar PKL Kandang Sapi di Lebak Terbengkalai, Aktivis: Program Kebelet  

8 (delapan) tahun terlalu lama menahan gejolak dinamika masyarakat di tingkat desa, segala kesemerautan, ketimpangan sosial, kemandegan pembangunan, hingga kurangnya empati kepala desa terhadap masyarakat akan menjadi polemik baru di tanah tercinta dan dapat menjadi bentuk kejahatan negara terhadap rakyat.

Jika hal demikian tidak diperhatikan sedetail bagaimana negara juga bertanggungjawab atas pengesahan undang-undang tersebut, garansi apa yang negara berikan kepada rakyat jika kepala desa yang menjabat 8 tahun kenyataannya tidak dapat membangun desa.

Pengesahan undang-undang kepala desa tidak ikut serta diberikan ketegasan bagi kepala desa yang tidak amanah dapat diberhentikan melalui surat gugatan pemecatan yang dapat diajukan masyarakat kepada Gubernur.

Dibalik kesumeringahan para kepala desa se Indonesia raya dalam menyambut pengesahan undang-undang yang diajukan, masyarakat justru kelimpungan mempertanyakan mengapa begitu mudah mengesahkan undang-undang tersebut, tanpa ada proses dialog yang serius dengan rakyat yang bersentuhan langsung dengan kepala desa untuk mengupas tajam undang-undang tersebut.

Baca juga: Pilkada Lebak 2024: NasDem Lebak Kantongi Calon Kandidat Potensial, 7 Nama Dilirik

Apakah undang-undang itu berkepentingan untuk rakyat atau justru cuma memberi kesempatan kepala desa menjadi raja.

Di tengah gejolak politik yang masih membara diloloskannya Gibran Rakabuming Raka menjadi wakil presiden melalui aborsi Mahkamah Konstitusi, dan tengah panasnya soal gugatan 01 dan 03 pada kemenangan 02, negara malah terlihat enteng mengesahkan undang-undang kepala desa di tengah luka rakyat yang masih basah. Ada interik politik apa di baliknya.

Oleh: Rasiani Amelia
Penulis adalah mahasiswa di Universitas Setia Budhi Rangkasbitung

[Konten isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *