Jurnal: Stoikisme, Filosofi Hidup yang Menghidupkan

Chanel Banten – Bisa mengenal buku Filosofi Teras karya Henry Manampiring merupakan hal yang berharga bagi saya. Buku tentang Mazhab Stoikisme itu, pertama kali diperkenalkan oleh sahabatnya saya. 

Setelah perkenalan pertama itu, saya serasa ingin lebih dekat dan ingin tahu lebih dalam tentang buku itu. Terlebih, saya memiliki ketertarikan dengan buku bacaan filsafat.

Membaca buku ini, membuka pemahaman saya bahwa filsafat Stoikisme sangat relate dengan kondisi mental healt diusia 40-an seperti saya sekarang ini.

Pemahamanku tentang Stoikisme 

Selain itu, filsafat stoikisme menurut saya bisa membuka ruang kesadaran dan pikiran yang jernih. Filsafat stoikisme juga tidak hanya mampu melegakan, namun menyegarkan hati.

Stoikisme mengajarkan hati yang penuh rasa, namun tidak purna dengan keinginan-keinginan yang dapat menciptakan kecemasan dan bahkan depresi. Stoikisme bisa dibilang panduan psikologi sederhana dalam menjaga mentalitas kita tetap seimbang dengan kondisi atau realitas yang sedang kita alami.

Prinsip keseimbangan hidup ala stoikisme adalah refleksi diri, dengan cara mengkoreksi diri, introspeksi dan mawasdiri. Stoikisme lebih banyak mengajarkan mengenai pengendalian diri atau penekanan dalam mengelola emosi.

Stoikisme juga mengajarkan agar bersikap logis, mampu membedakan antara hal-hal yang berada dalam kendali kita dan hal-hal yang berada di luar kendali kita. Point yang lainnya adalah penekanan sikap empati terhadap orang lain dan melihat kemanusiaan dengan lebih purna. 

Asal-usul stoikisme

Stoikisme berasal dari bahasa Yunani stoikos” atau stoa. Istilah ini merujuk pada Stoa Poikile, sebuah “sekolah filsafat” di Athena, Yunani, tempat Zeno, filsuf terkemuka dari Citium memberikan pengaruh besar bagi peradaban sekitar tahun 301 SM.

Pada masa itu, Zeno melakukan pengajaran dengan cara yang agak tak biasa, yaitu dengan duduk berbicara di teras pendopo yang terletak agak jauh dari keramaian pasar. Pendekatan pengajaran dan cara dia mendirikan akademinya ini yang kemudian memberikan nama pada aliran filsafat ini, yaitu stoikisme.

Penggunaan istilah “stoik” lebih merujuk pada bundaran tiang penopang yang mendukung teras tempat Zeno mengadakan diskusi dan pengajaran.

Secara umum, sejarah stoikisme dapat dibagi menjadi tiga periode. Pertama, ada Stoa awal yang mencakup tokoh-tokoh seperti Zeno (334–262 SM)Chrisipus (280–206 SM), dan Cleanthes (331–232 SM). Kedua, ada Stoa perantara yang dikembangkan oleh Panaetius dari Rhodes (185–110 SM) dan Posidonius dari Apamae (135–51 SM). Pamungkasnya, terdapat Stoa akhir atau yang juga dikenal sebagai Stoikisme Romawi yang dipengaruhi oleh pemikiran Lucius Annaeus Seneca (1–65 M), Epictetus (55–135 M), dan Marcus Aurelius (121–180 M).

Oleh: Galuh Malpiana 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *