ilustrasiGaluh Malpiana
Seorang jurnalis dan komikus aktif dalam literasi, berdimisili di Kabupaten Lebak. Saat ini menjabat sebagai Pimred Chanel Banten.com, mantan jurnalis Kabar Banten Grup Pikiran Rakyat
Tulisan ini sepenuhnya jadi tangung jawab penulis, tidak mewakili pandangan redaksi
Pernah antre dan terpaksa harus rela menunggu berjam-jam lamanya? Jika pernah, maka tentu itu sangat menyiksa. Namun meski begitu, kita tetap matuh melakoninya karena demi suatu tujuan.
Setidaknya aturan hidup memang begitu, harus antre menunggu giliran biar tertib. Kecuali yang kurang “iman” dan tak sabaran, cara yang di pilih “ngepet” pakai tangan calo.Tapi di zaman modern era digital sekarang ini, mungkin cara itu sudah tak relevan, calo “punah”. Sebab, di kota-kota besar umumnya sudah menggunakan sistem digital mengatur antrean. Jadi kita tak perlu mongsang-mangsing lagi lantaran jenuh atau bahkan pegal akibat duduk atau berdiri menunggu antrean.
Gerak dalam hidup diatur oleh ruang. Tanpa ruang, maka tak akan ada yang namanya waktu. Tuhan sudah mengatur sedemikian rupa semesta ini, termasuk metabolisme semua mahluk hidup di planet bumi yang kita tempati sekarang ini.
Contoh sederhana, seorang ibu mengandung janin selama kurang lebih 9 bulan lamanya. Sejak di alam rahim, kita sudah dilatih menunggu waktu untuk dilahirkan ke dunia fana ini. Karenanya, menunggu merupakan bagian dari elemen yang tak terpisahkan dari kehidupan kita sebagai mahluk.
Selain itu, menunggu juga merupakan filosofi hidup. Menunggu adalah cara kita berproses, sehingga tak ada celah yang memungkinkan kita melakukan lompatan waktu. Jika pun curang memanfaatkan “calo”, itu hanya sebuah mekanis semata tidak lantas melompati esensi waktu sesungguhnya itu sendiri.
Kenyataannya, kita memang harus menunggu, dan sabar titik. Apapun itu, semua pasti ada gilirannya. Seumpama pun kita punya kesempatan jadi time traveler menjelajah ruang waktu, namun kita tak bisa memodifikasi waktu sebagai hak yang diberikan oleh Tuhan.
Hikmah kesabaran
Kehidupan sejatinya adalah ruang tunggu. Saat kita belum dapat giliran, maka tak ada negosiasi selain menikmati moment itu. Dalam terminologi agama, kesabaran adalah puncak rantai dari keimanan. Tuhan menuntut hambanya agar bersabar dalam menempuh ruang dan waktu kehidupan ini. Karenanya, sabar adalah jalan hikmah.
Halnya seperti ketika saya mendengar pemaparan teman soal kalkulasi biaya anaknya yang sedang menempuh kelas kuliah. Jumlah-jamleh dalam sebulan kos yang dikeluarkan bisa mencapai puluhan juta. Dia menghela nafas panjang setelah memaparkannya, begitu juga saya langsung mengerut dahi mendengarnya. Mengingat pendapatan saya tak sampai puluhan juta dalam sebulan.
Kedengarannya berat memang, namun perlahan dan pasti saya akan tiba pada giliran. Saya traveling, dalam pikir betapa “ngesot” saya nanti saat anak duduk di bangku kuliah melihat kondisi penghasilan “umprat-amprit” sekarang ini. Saya beranjak dari traveling pikiran tak “senonoh” itu. Ini hanya soal persepsi waktu.
Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul “Ruang Tunggu: Filsafat KIlas Balik”,
Tidak ada komentar