Oleh: Ratu Nisya Yulianti
Penulis adalah seorang aktivis perempuan Banten, menjabat sebagai Wakil Ketua Bendahara Umum PB HMI
RADEN Ajeng Kartini merupakan figur sentral dalam diskursus emansipasi perempuan di Indonesia. Dalam kajian sejarah dan gender, Kartini tidak hanya dipahami sebagai tokoh budaya, tetapi juga sebagai pemikir progresif yang memiliki kesadaran kritis terhadap struktur sosial yang menindas perempuan. Melalui kumpulan surat-suratnya yang kemudian dibukukan dalam “Habis Gelap Terbitlah Terang”, Kartini mengekspresikan pemikiran yang reflektif, rasional, dan jauh melampaui norma-norma zamannya.
Secara sosiologis, Kartini merepresentasikan bentuk awal dari kesadaran feminis di tanah air, di mana ia mengusulkan pentingnya pendidikan sebagai alat pembebasan intelektual perempuan. Gagasan ini sejalan dengan pemikiran filsuf yakni John Stuart Mill, yang dalam The Subjection of Women menekankan bahwa ketidaksetaraan gender merupakan konstruksi sosial, bukan kodrat alamiah.
Lebih jauh, Kartini tidak menentang kodrat perempuan sebagai ibu atau istri, melainkan memperluas pemahaman tentang peran perempuan sebagai subjek aktif dalam masyarakat. Ia memandang bahwa pendidikan bukan untuk menyaingi laki-laki, melainkan untuk memberdayakan perempuan agar dapat berpikir, memilih, dan berkontribusi. Dengan cara pandang ini, Kartini menunjukkan bahwa kesetaraan bukanlah tentang persamaan mutlak, melainkan tentang pengakuan terhadap martabat dan kapasitas yang setara sebagai manusia.
Sosok Kartini dapat ditempatkan sebagai pionir dalam pemikiran liberal humanism, yang mengedepankan rasionalitas, keadilan sosial, dan kemerdekaan individu. Pemikirannya mengandung nilai-nilai transformasional, menjadikan pendidikan sebagai poros utama perubahan, dan meletakkan dasar bagi gerakan perempuan di Indonesia.
Kepemimpinan perempuan masa kini menunjukkan karakter yang khas—empatik, kolaboratif, dan berorientasi pada keberlanjutan. Dari kepala desa hingga CEO, dari aktivis hingga menteri, perempuan Indonesia telah membuktikan bahwa mereka mampu membawa perubahan yang berdampak luas.
Namun, meski telah banyak kemajuan, tantangan tetap ada: stereotip gender, ketimpangan akses, hingga beban ganda yang masih membayangi. Karena itu, spirit Hari Kartini tidak boleh sekadar menjadi seremoni tahunan, melainkan pengingat kolektif bahwa perjuangan untuk kesetaraan dan kepemimpinan perempuan masih terus berlangsung.
Dengan menjadikan Kartini sebagai simbol semangat, perempuan masa kini tidak hanya menjadi penerus, tetapi juga pelopor perubahan. Ketika perempuan memimpin, bukan hanya kehidupan mereka yang berubah—tapi juga arah bangsa yang ikut bergerak.
Tidak ada komentar