Chanel Banten – Penetapan kerja rodi kepada rakyat oleh Bupati Lebak membuat geram Eduard Dowes Dekker. Warga ditindas dengan cara memeras dengan dalih pajak berupa hasil bumi dan ternak.
Potret penindasan sang bupati itu diceritkan dalam sebuah Novel satire Max Havelaar yang ditulis Eduard Douwes Dekker dengan nama pena Multatuli. Novel itu ia tulis di sebuah hotel yang disewanya di Brussel, Belgia pada 1859.
Novel itu terbit pertama kali pada 1860, terinspirasi dari pengalaman dan pengamatannya ketika menjabat asisten residen di Lebak, Banten pada 1856.
Douwes Dekker geram dengan watak feodal sang bupati yang membuat warga sengasara. Sementara bupatinya hidup bergelimang kemewahan.
Baca juga: Liburan, Ini Daftar 6 Objek Wisata Super Prioritas Fantastis di Lebak yang Bisa jadi Pilihan
Douwes Dekker membongkar praktik tercela pejabat lokal pada masa tanam paksa (cultuurstelsel) di Lebak. Ia mengabadikan Bupati Lebak, Raden Adipati Karta Natanegara (menjabat 1830-1865) sebagai pejabat lokal yang kerap menindas rakyat dalam novelnya itu.
Pengaduan Douwes Dekker kepada atasannya, residen C.P. Brest van Kempen terkait kesewenang-wenangan sang bupati tak digubris. Ia malah mendapat peringatan keras. Kecewa, ia akhirnya memilih mengundurkan diri dari jabatannya.
Korupsi dan penyelewengan
Protes Douwes Dekker terhadap perilaku menyimpang bupati—tentu saja tidak semuanya—di masanya bukan isapan jempol belaka. Terutama di masa tanam paksa (1830-1870), bupati hidup bak raja kecil dan tak jarang melakukan praktik menyimpang, seperti korupsi dan suap.
“Ada beberapa rumor dan gosip mengenai kasus kriminal di kalangan priayi, seperti terlibat dalam penyelundupan, menghukum pekerja yang tak taat dengan mencambuk sampai mati, menerima suap, memeras, dan lainnya,” tulis sejarawan Ong Hok Ham di buku Madiun dalam Kemelut Sejarah: Priayi dan Petani di Keresidenan Madiun Abad XIX (2019).
Baca juga: Bak ‘Sangkuriang’, 4 Mesin Traktor Milik Petani di Lebak Lenyap Semalam
Usai Perang Jawa pada 1830, Belanda memerlukan kerja sama politis dari para bupati, terutama di daerah yang baru saja diambil alih. Di dalam bukunya yang lain, Wahyu yang Hilang Negeri yang Guncang (2019), Ong menulis, ketika itu Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch tak menjanjikan gaji kepada para bupati, tetapi memberi iming-iming subsidi keuangan, kedudukan turun-temurun, serta tanah sebanyak mungkin.
Bupati di setiap daerah bervariasi, namun mereka cukup kaya. Secara sadar, Belanda memperlakukan bupati sebagai entitas orang Jawa yang berpenghasilan paling tinggi. Hubungan dekat dengan orang Eropa, kata Ong, membuat mereka punya selera kemewahan ala bangsa kulit putih, seperti senjata, kuda, pakaian, seragam militer Belanda bersulam emas, serta furnitur dari Benua Biru.
Penulis/editor: Galuh Malpiana