Belajar Etika Debat dari Imam Malik dan Syafei

TAHUN ini merupakan tahun politik, dimana akan dilaksanakan Pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang diselenggarakan serentak pada November 2024 mendatang. 

Sejumlah calon pun kini sudah bermunculan, baik sosok yang akan bertarung di Pemilihan Gubernur (Pilgub) maupun Pemilihan Bupati (Pibup). 

Mendekati hari H hajat demokrasi, sejumlah calon sudah mulai banyak melakukan sosialisasi kepada para pemilih, baik melalui spanduk di jalan-jalan maupun dengan cara yang kekinian melalui platform media sosial atau medsos.

Baca juga:  ‘Candu’ Membayangi Perilaku Hidup Kita

Gambar calon di spanduk tentu hanya sebatas media sosialisasi untuk mendongrak popularitas saja. Tidak tentang visi dan misi calon tersebut. 

Karenanya, sebagaimana diatur dalam Undang-undang pelaksanaan Pemilu, maka terdapat sesi debat antar calon yang diselenggarakan oleh pelaksana Pemilu atau KPU. 

Melalui sesi debat antar calon itulah, nantinya akan terlihat sejauh mana kualitas visi dan misi para calon tersebut. Pertarungan debat antar calon tersebut tentu akan menentukan siapa calon yang bakal konstituen pilih nantinya di bilik suara. 

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pengertian debat adalah pembahasan atau pertukaran pendapat mengenai suatu hal dengan saling memberi alasan untuk mempertahankan pendapat masing-masing. 

Berbicara mengenai debat tentu tidak hanya di panggung politik. Di kehidupan sehari-hari kita juga tentu sering menyampaikan pendapat melalui debat. Namun tak jarang dalam debat untuk mempertahankan pendapat, kita kebablasan dengan tidak mengedepankan etika. Bahkan tak terkecuali di forum debat ruang publik sekalipun, debat seakan menjadi ring untuk saling menyerang sisi pribadi, bukan fokus pada tema debat. 

Debat semacam itu tentu tidak sehat. Karena, debat yang seharusnya menjadi media literasi dan edukasi pada audiens justru malah menjadi ruang pencela yang tak mendidik.

Soal etika debat, sebaiknya kita belajar pada dua tokoh ulama Imam Malik dan Syafei. Dikisahkan, Imam Malik dan Syafei yang merupakan guru dan murid itu pernah berdebat sengit soal rejeki. 

Dalam debat di sebuah majelis, Imam Malik menyampaikan kepada Imam Syafii yang merupakan muridnya, bahwa sesungguhnya rejeki itu datang tanpa sebab, cukup dengan tawakal yang benar kepada Allah SWT niscaya Allah akan memberikan rejeki. 

“Lakukan yang menjadi bagianmu, selanjutnya biarkan Allah mengurus lainnya,” kata Imam Malik. 

Pendapat sang guru itu pun ditanggapi oleh Imam Malik sang murid. Imam Malik berpendapat, seandainya seekor burung tidak keluar dari sangkarnya, bagaimana mungkin ia akan mendapatkan rejeki. 

Dalam forum itu, guru dan murid bersikukuh pada pendapatnya masing-masing. Singkat cerita setelah panjang lebar mengutarakan pendapatnya masing-masing, guru dan murid itupun akhirnya tertawa. 

Dipenghujung debat, dua Imam madzhab itu akhirnya mengambil dua hukum yang berbeda dari hadits yang sama. Dua tokoh ulama itu sangat bijaksana dalam melihat perbedaan, bukan dengan cara menyalahkan orang lain atau bahkan saling mencela dan hanya membenarkan pendapatnya saja. 

Kebijaksanaan dan etika debat dua tokoh itu tentu harus menjadi pelajaran. Karena menurut pandangan saya,  sesungguhnya forum debat adalah sarana interaktif menyampaikan ide dan gagasan untuk kemaslahatan dan kemajuan peradaban. 

Baca juga: Menakar Kebijakan E-Parking Pasar Rangkasbitung

Di tahun politik Pilkada 2024, saya harap para calon lebih banyak bertarung dengan ide dan gagasannya masing-masing. Jadikan sarana debat yang tersedia sebagaimana dalam regulasi Pemilu sebagai sarana literasi pada publik. Para calon harus menjadi pencerah, bukan pemecah. 

Semoga Pilkada serentak 2024 ini berjalan damai, demokratis, jujur dan adil. Mari bersama-sama kita sukseskan Pemilu serentak 2024 mendatang. Dengan segala keterbatasan ruang pikir saya. Semoga tulisan ini bisa bermanfaat. 

Oleh: Galuh Malpiana
Penulis adalah jurnalis warga Lebak

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *