
Galuh Malpiana
Penulis adalah mantan pengurus PWI Pandeglang, kini Ketua Aliansi Jurnalis Lebak. Penulis juga aktif dalam literasi jurnalistik
BARU-BARU ini seorang oknum jurnalis atau wartawan di Kabupaten Lebak, Banten dilaporkan ke polisi atas kasus pemerasan. Pihak sekolah merasa diperas okum jurnalis dengan nominal ratusan ribu rupiah.
Kasus pemerasan itu bermula saat oknum jurnalis itu mengungkap kasus dugaan korupsi Program Indonesia Pintar (PIP) oleh oknum pejabat di sekolah tersebut.
Akar persoalan dari kasus ini maka perlu disikapi secara objektif. Karena walau bagaimanapun tindakan premanisme memeras dan korupsi ada dua tindakan yang melawan hukum. Ini harus dijadikan pembelajaran dan perenungan bagi insan perrs untuk tidak melakukan tindakan yang melanggar kode etik jurnalistik, termasuk Aparatur Sipil Negara (ASN) yang juga memiliki kode etik tentunya.
Kode etik jurnalistik harus dijadikan pedoman dan pegangan sebagai ‘jimat’ bagi seorang jurnalis dalam kerja-kerja jurnalistiknya. Jika tidak jurnalis akan tersesat, parahnya akan bermasalah dengan hukum.
Langkah pihak sekolah melaporkan oknum wartawan ke penegak hukum patut diapresiasi, karena langkah itu sudah benar. Sebab, diakui atau tidak banyak oknum yang melakukan tindakan premanisme berkedok sebagai seorang jurnalis untuk melakukan pemerasan.
Karena itu, aparat hukum atau APH harus menindaklanjuti laporan kasus pemerasan tersebut. Namun demikian proses penanganannya harus dilakukan secara profesional dan transparan.
Dalam kasus SDN 1 Sindanglaya ini, APH juga saya harap tak hanya fokus pada kasus pemerasan yang dilaporkan pada oknum jurnalis itu. Namun juga harus menyentuh pula soal dugaan korupsi yang diungkap oleh jurnalis yang dilaporkan memeras oleh sekolah.
Ungkap kasus korupsinya
Kasus korupsinya perlu disentuh. Sebab walau bagaimanapun kasus pemerasan itu berangkat dari upaya jurnalis mengungkap kasus korupsi di sekolah itu. Jangan sampai kasus pemerasan ini malah membiaskan soal perkara korupsinya.
Kasus penyelewengan atau korupsi di sekolah sudah bukan rahasia umum. Bahkan pernah viral seorang influencer pernah membongkar borok praktik korupsi PIP dan juga penggunaan Dana Operasi Sekolah (BOS).
Fakta baru
Baru-baru ini bahkan terungkap fakta baru soal kasus dugaan korupsi di SDN Sindanglaya yang dimuat di sejumlah media. Sejumlah wali murid mengaku diintimidasi oleh oknum di sekolah karena telah mengungkap soal PIP ke media. Upaya intimidasi itu lantas langsung dibantah pihak sekolah.
Jika saya boleh menilai, ketakutan dan rasa was-was pihak sekolah hingga mengintimdasi salah seorang wali murid, maka mengindikasikan jika lingkungan sekolah itu memang penuh dengan ‘tikus’ korup.
Jangan korbankan jurnalis
Jika mencermati soal laporan kasus pemerasannya. Saya menilai itu bisa jadi merupakan bentuk ketakutan pihak sekolah. Karena jika benar sekolah itu bersih, maka tak perlu juga mereka memberikan uang kepada seorang jurnalis.
Karenanya, dalam kasus ini saya harap jurnalis jangan sampai malah ‘dikorbankan’ untuk menutupi praktik korupsi yang dampaknya menyengsarakan rakyat. Dalam konteks ini bukan berarti saya membela oknum jurnalis memeras loh!.
Cermat layani wartawan
Diakui atau tidak dengan pesatnya perkembangan media masa saat ini, tentu bertambah pula jumlah wartawan. Namun memang tidak semua wartawan memiliki kompetensi. Wartawan boderk itu kadang hanya bermodal IDcar saja.
Untuk menghindari wartawan bodrek semacam itu, maka narasumber atau masyarakat harus cermat. Tanyakan indentitasnya dan jangan layani jika konteks tujuannya tidak jelas untuk kepentingan tugas jurnalistik.
Saya harap, adanya kasus ini dijadikan pembelajaran. Dengan segala keterbatasan ruang pikir saya, diharapkan tulisan ini bisa bermanfaat.