Mengenal Neuropolitik dan Sipat Dasar Manusia

Chanel Banten, Jakarta –  Neuropolitik adalah cara otak membentuk perilaku politik pada manusia. Neuropolitik juga berkaitan dengan bagaimana manusia memandang diri dan lingkungan saat berinteraksi dengan manusia lainnya.

Hal itu dikatakan Pakar Neurosains, dr. Roslan Yusni Hasan dalam acara Jakarta Geopolitical Forum V/2021 (JGF V/2021), pada Kamis 21 Oktober 2021 silam. Acara itu mengangkat tema “Culture and Civilization: Humanity at the Crossroads” dengan menghadirkan narasumber lainnya dari beragam latar belakang.

Pria yang akrab disapa Ryu Hasan itu mengatakan, neuropolitik berkembang sejak awal tahun 2000-an. Neuropolitik juga membahas mengenai politik dari sudut pandang sains. Ryu memaparkan tiga isu utama dalam konteks keinginan bebas dalam berpolitik.

Pertama adalah rigidity atau kekakuan. Manusia pada dasarnya bersifat rigid atau sulit diubah. Ryu mengatakan bahwa hampir tidak mungkin dapat mengubah perilaku manusia. Kedua adalah flexibility atau fleksibilitas.

“Manusia adalah makhluk yang secara alamiah dibentuk untuk mudah beradaptasi dengan lingkungan dalam hal-hal tertentu,” kata Ryu Hasan dilansir Chanel Banten dari laman Lemhanas RI, Sabtu 23 Desember 2023.

Ketiga adalah plasticity, Ryu menjelaskan, manusia terbentuk sepanjang manusia tersebut hidup. “Tiga hal tersebut adalah hal-hal yang terjadi dari otak manusia. Manusia disusun oleh bahan-bahan alam yang bekerja sesuai hukum alam,” ujar Ryu.

Ancaman manusia di abad modern

Pada kesempatan tersebut, Ryu juga menyampaikan satu ancaman yang sudah mengintip abad modern, tapi masih luput dari perhatian manusia, yaitu masalah kelebihan makanan. “Sekarang ancaman kita justru kelebihan makanan. Orang gembrot, obesitas adalah masalah peradaban ke depan,” kata Ryu.

Lebih lanjut, Ryu memaparkan bahwa obesitas merupakan persoalan global dan menjadi perhatian WHO sejak tahun 2000. Namun, dari sekian banyak negara yang menyadari bahaya obesitas, hanya Jepang yang paling serius menangani obesitas.

“Jepang punya Undang-Undang anti gembrot sejak 2008,” kata Ryu Hasan.

Salah satu upaya yang dilakukan Jepang adalah menerapkan batas ukuran lingkar pinggang pada laki-laki 84,3 cm dan perempuan 81.3 untuk menentukan seseorang terkena obesitas atau tidak. Jepang setidaknya membutuhkan waktu sekitar dua tahun untuk menanamkan kesadaran mengenai bahaya obesitas dan berhasil menurunkan angka kasus obesitas.

“Setelah diberlakukan denda dalam dua tahun sejak diundangkan, menurunkan angka kesakitan dan biaya kesehatan yang dikeluarkan,” kata Ryu.

Bila melihat perilaku manusia soal obesitas, memang ada paradoks karena manusia memiliki gen tidak bisa berhenti makan. Gen ini menolong manusia pada saat mempertahankan hidup. “Orang yang tidak punya gen tidak bisa berhenti makan, punya peluang hidup lebih tinggi,” ujar Ryu.

Pada akhirnya manusia yang bertahan ialah manusia yang punya gen tidak bisa berhenti makan. “Ini memberikan advantage pada saat sumber daya terbatas,” kata Ryu.

Reporter: Galuh Malpiana
Editor: Galuh Malpiana

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *