
Ketua Aliansi Jurnalis Kabupaten Lebak, Galuh Malpiana/Chanel Banten
DALAM tulisan awal (Bagian 1), ulasan yang saya angkat adalah soal sejarah pakaian bikini serta “toplles” tentu memiliki alasan. Tentunya itu karena berkaitan denga apa yang akan saya bahas dalam tulisan ini. Sebagaimana judul tulisan ini, yaitu sensualitas pikiran. Maka alasan itulah kata sensualitas saya ambil sebagai diksi dalam tulisan ini.
Baca juga: Menjaga Martabat Perss, Etika Jurnalis dan Kepercayaan Publik
Untuk membahas lebih lanjut, ada baiknya memahami kata sensualitas. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sensualitas adalah segala sesuatu yang mengenai badani bukan rohani. Secara umum sensualitas bisa dibilang adalah mengenai soal hasrat yang berkonotasi pada sesuatu hal yang bersipat “porno” atau bahkan cabul.
Meski demikian, diksi kata sensualitas yang saya maksud bukan hendak mengambarkan “porno”, melainkan sebuah pikiran yang menurut saya memiliki kompleksitas yang cukup rumit. Pikiran manusia menurut saya seperti memiliki konduksi. Di mana, pikiran itu tergantung bagaimana kita memfungsikannya.
Baca juga: Perss Lentera Demokrasi, Bukan Musuh yang Harus di Benci
Semisal kita melihat sebuah lukisan abstrak, tentu setiap orang memiliki presfektif berbeda dalam menagkap visual gambar tersebut. Dengan demikian menurut saya pikiran kita dapat dimanifulasi. Termasuk dalam pikiran kita terdapat sensualitas dalam melihat visual yang memiliki nilai keindahan.
Karenanya, dalam tulisan (bagian 1) saya menganalogikan sebuah bikini dan “toplles”. Di mana bikini dan “toplles” sering kali jadi objek pornografi. Menurut saya, pikiran memang memiliki sensualitas, namun demikian pikiran tergantung bagaimana kita memfungsikannya saat melihat objek visual. Pikiran adalah tergantung bagaimana kita mengaktualisasikannya. (Bersambung).
Oleh: Galuh Malpiana
Penulis adalah jurnalis warga Lebak