Menjaga Martabat Perss, Etika Jurnalis dan Kepercayaan Publik 

 

KASUS dugaan pelecehan profesi wartawan di Kabupaten Lebak, Banten belakang kembali trending. Dalam kurun waktu tak berselang lama, sudah ada tiga kasus pelecehan dan bahkan intimidasi yang menimpa wartawan di daerah itu.  

Kasus pertama terjadi di Desa Pasirkembang, kemudian Karangnunggal dan yang teranyar terjadi di desa Sukamarga. Pelakunya diduga adalah oknum Kepala desa (Kades) dan perangkat desa. Kasus pelecehan juga  juga menimpa kawan lembaga swadaya masyarakat atau LSM.

Baca juga: Perss Lentera Demokrasi, Bukan Musuh yang Harus di Benci 

Menurut pengakuan wartawan yang menjadi korban, tindakan pelecehan profesi yang menimpa wartawan berupa umpatan kata kotor, intimidasi dan bahkan pengusiran. Bahkan, kasus pelecehan profesi wartawan sampai ada yang berujung ranah hukum. 

Kejadian itu, tentu menjadi trending di masyarakat. Kasus itu juga jadi topik diskusi dikalangan wartawan di daerah itu sendiri, karena kasus itu seperti sebuah bintik lahirnya sindrom kepercayaan publik.

Belakangan timbul pertanyaan, fenomena kasus pelecehan profesi wartawan yang marak terjadi di daerah itu apakah cerminan kehadiran wartawan maupun lembaga kontrol sosial sudah tak dihargai, atau parahnya tak memiliki wibawa. Jika sudah begini siapa yang disalahkan?. 

Dipungkiri atau tidak pesatnya perkembangan platform informasi digital membuka ruang pelaku usaha media masa digital bermunculan. Di Kabupaten Lebak sendiri jumlahnya bisa mencapai ratusan atau bahkan lebih. 

Menjamur perusahaan media digital lokal tentu tak bisa dibendung. Terlebih, kemudahan akses membuat website, dan juga efesiensi modal dalam membuat media online lebih ringan, dibanding membuat media cetak atau koran. 

Selain itu, kemudahan rekrutmen menjadi wartawan diakui atau tidak cukup mudah, tanpa mengedepankan kualifikasi kompetensi wartawan yang direkrut. Tentu hal itu akan mempengaruhi pada kualitas media itu sendiri. 

Kasus pelecehan profesi wartawan yang terjadi tentu harus dipandang secara bijaksana dan juga menjadi bahan perenungan bagi kita sebagai insan pers untuk introspeksi diri. 

Dalam kerja-kerja jurnalistik, wartawan harus berpegang teguh pada kode etik jurnalistik sebagai pedoman operasional profesi. Kode etik jurnalistik sendiri merupakan wujud luhur dari hak asasi manusia yang tertuang dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999.

Sebagaimana dalam buku Jurnalisme Kontemporer (2017) oleh Septiawan Santaa, definisi kode etik jurnalistik adalah sebagai sekumpulan prinsip moral yang merefleksikan peraturan-peraturan yang wajib dipatuhi oleh seluruh wartawan.

Kode etik jurnalistik berfungsi sebagai landasan moral dan etika agar seorang wartawan senantiasa melakukan tindakan tanggung jawab sosial demi kepentingan publik. 

Kebebasan pers yang ideal adalah kebebasan yang tidak mencederai kepentingan publik dan tidak melanggar hak asasi warga negara.

Sedangkan, institusi yang berhak menilai atas pelanggaran kode etik jurnalistik adalah Dewan Pers. Sementara pihak yang memberikan sanksi atas pelanggaran kode etik jurnalistik adalah organisasi profesi wartawan dan atau perusahaan pers yang bersangkutan.

Baca juga: Keistimewaan Ikhlas dalam Akulturasi Psikologis

Untuk mengimplementasikan hal itu, maka pelaku usaha Perss bertanggung jawab atas wartawannya sendiri agar bekerja profesional. Insan Perss juga harus memberikan literasi jurnalistik kepada masyarakat agar memahami kerja-kerja wartawan. Sehingga, masyarakat bisa memilah dan memilih mana wartawan yang profesional dan abal-abal atau oje (ora jelas) yang dapat merugikan masyarakat itu sendiri. 

Meski demikian, melakukan pelecehan terhadap suatu profesi termasuk wartawan tidak dibenarkan. Sebab, profesi wartawan bukan ilegal, bukan pula tanpa aturan, tetapi diakui secara hukum dalam Undang-Undang. 

Oleh: Galuh Malpiana
Penulis adalah Ketua Aliansi Jurnalis Lebak

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *